Selasa, 23 Februari 2016

Leadership


Arpian Siduampan 
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pendidikan merupakan realisasi kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan yang dicita-citakan. Pendidikan merupakan komponen pokok dalam pembinaan landasan pengembangan sosial budaya. Pendidikan juga sekaligus penegak kemanusiaan yang berperadaban tinggi. Pendidikan tidak bisa lepas dari kehidupan sosial. Artinya, pendidikan untuk kesejahteraan manusia dunia-akhirat sehingga perlu diaplikasikan sebab pendidikan memiliki nilai teologis dan sosiologis sekaligus.
Karenanya, proses belajar mengajar merupakan kebutuhan penting hidup manusia. Hal ini harus dirasakan bersama oleh setiap individu laki-laki dan perempuan tanpa pandang bulu. Karena sama-sama memiliki kemampuan untuk belajar. Semakin lama, setiap aspek kehidupan manusia berkembang, kebutuhannya pun kian beragam. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan harus saling membantu, bekerja sama meniti jalan dan mengatasi masalah kehidupan yang mereka hadapi.
Kesenjangan pada bidang pendidikan dianggap menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain di, hampir semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran dimasyarakat sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor  penyebab bias gender adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum setara selain masalah-masalah klasik yang cenderung menjustifikasi ketidakadilan seperti intepretasi teks-teks keagamaan yang tekstual dan kendala sosial budaya lainnya. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestarikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat.
Dalam upaya penyadaran gender menjadi perbincangan serius di kalangan aktivis perempuan, keluarga-keluarga, wartawan, dunia pendidikan maupun kalangan politisi. Begitupun strategi-strategi telah ditawarkan dengan tujuan agar kesetaraan gender tercapai terutama dalam pendidikan yang dianggap dimensi kunci. Dari sinilah kami akan mencoba memberikan sedikit penjelasan mengenai kesetaraan gender dalam bidang pendidikan.

B.  Tujuan Penulisan
Dengan adanya penulisan makalah pendidikan dan kesetaraan gender ini diharapkan mahasiswa sebagai calon pendidik dan anggota masyarakat mampu menganalisis tentang kesetaraan gender dalam perspektif pendidikan, sehingga mempunyai wawasan yang luas dan menambah peran aktif dalam menciptakan pendidikan dengan setara bagi semua orang yang terlibat di dalamnya.











BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN GENDER
Hal penting yang perlu dilakukan dalam kajian gender adalah memahami perbedaan konsep gender dan seks (jenis kelamin). Kesalahan dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sikap menentang atau sulit bisa menerima analisis gender dalam memcahkan masalah ketidak adilan sosial.
Seks adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas anatomi biologis dan merupakan kodrat Tuhan.  Menurut Mansour Faqih, sex berarti jenis kelamin yang merupakan penyifatan atau pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Perbedaan anatomi biologis ini tidak dapat diubah dan bersifat menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu perbedaan tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja.
Sedangkan gender, secara etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin. Tetapi Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara pria dan wanita, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbnetuk melalu proses sosial dan cultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat.
Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai status yang melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai status yang diterima atau diperoleh.
Mufidah dalam Paradigma Gender mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan.
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki.. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.

B.  BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN
Yang dimaksud bias gender adalah mengunggulkan salah satu jenis kelamin dalam kehidupan sosial atau kebijakan publik. Bias gender dalam pendidikan adalah realitas pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu sehingga menyebabkan ketimpangan gender
Berbagai bentuk kesenjangan gender yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, terpresentasi juga dalam dunia pendidikan. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestrikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan gender dalam pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi, antara lain:
1.    Kurangnya partisipasi (under-participation). Dalam hal partisipasi pendidikan,perempuan di seluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding lawan jenisnya, partisipasi perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah Dinegara-negara dunia ketiga di mana pendidikan dasar belum diwajibkan, jumlah murid perempuan umumnya hanya separuh atau sepertiga jumlah murid laki-laki.
2.  Kurangnya keterwakilan (under-representation). Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan juga menunjukkan kecenderung disparitas progresif. Jumlah guru perempuan pada jenjang pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki. Namun, pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut menunjukkan penurunan drastis.
3. Perlakuan yang tidak adil (unfair treatment) Kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas seringkali bersifat merugikan murid perempuan. Guru secara tidak sadar cenderung menaruh harapan dan perhatian yang lebih besar kepada murid laki-laki dibanding murid perempuan. Para guru kadangkala cenderung berpikir ke arah "self fulfilling  prophecy" terhadap siswa perempuan karena menganggap perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi.
C.  Pengertian Kesetaraan Gender
Dalam memahami kajian kesetaraan gender, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara gender dengan seks ( jenis kelamin ). Kurangnya pemahaman tentang pengertian Gender menjadi salah satu penyebab dalam pertentangan menerima suatu analisis gender di suatu persoalan ketidakadilan social.
Hungu (2007) mengatakan “seks ( jenis kelamin ) merupakan perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks ( jenis kelamin ) berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya.
Sedangkan secara etimologis, gender memiliki arti sebagai perbedaan jenis kelamin yang diciptakan oleh seseorang itu sendiri melalui proses social budaya yang panjang. perbedaan perilaku antara laki – laki dengan perempuan selain disebabkan oleh factor biologis juga factor proses social dan cultural. oleh sebab itu gender dapat berubah – ubah dari tempat ke tempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas social ekonomi masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan perbedaan antara jenis kelamin dengan gender yaitu, jenis kelamin lebih condong terhadap fisik seseorang sedangkan gender lebih condong terhadap tingkah lakunya. selain itu jenis kelamin merupakan status yang melekat / bawaan sedangkan gender merupakan status yang diperoleh. Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.
Setelah mengetahui perbedaan jenis kelamin dengan gender, maka langkah selanjutnya yaitu kita dapat memahami pengertian “Kesetaraan Gender”. Kesetaraan Gender merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
kesetaraan gender memiliki kaitan dengan keadilan gender. keadilan gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap laki – laki dan perempuan. terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi baik terhadap laki – laki maupun perempuan. sehingga denga hal ini setiap orang memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan control atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan tersebut.
Memiliki akses di atas mempunyai tafsiran yaitu setiap orang mempunyai peluang kesempatan dalam memperoleh akses yang adil dan setara terhadap sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki partisipasi berarti mempunyai kesempatan untuk berkreasi / ikut andil dalam pembangunan nasional. Sedangkan memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.

D.     KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN
Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan membangun keluarga berkualitas. Jumlah penduduk perempuan hampir setengah dari seluruh penduduk Indonesia dan merupakan potensi yang sangat besar dalam mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih berkualitas. Kesetaraan Gender, Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan & keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender suatu perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.
Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik terhadap satu jenis kelamin tertentu. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
 Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.

Dasar persamaan pendidikan menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. Sebagaimana Athiyah, Wardiman Djojonegoro menyatakan bahwa: ciri pendidikan kerakyatan adalah perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik. Dalam kerangka ini, pendidikan diperuntukkan untuk semua, minimal sampai pendidikan dasar. Sebab, manusia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Apabila ada sebagian anggota masyarakat, sebodoh apapun yang tersingkir dari kebijakan kependidikan berarti kebijakan tersebut telah meninggalkan sisi kemanusiaan yang setiap saat harus diperjuangkan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa nilai kemanusiaan terwujud dengan adanya pemerataan yang tidak mengalami bias gender. Masalah pendidikan, antara anak perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang. Anak perempuan, sebagaimana anak laki-laki harus punya hak/kesempatan untuk sekolah lebih tinggi. Bukan menjadi alternative kedua jika kekurangan biaya untuk sekolah. Hal ini dengan pertimbangan adanya penghambur-hamburan uang sebab mereka akan segera bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak membantu orang tua dalam pekerjaan rumah. Pendirian seperti ini melanggar etika Islam yang memperlakukan orang dengan standar yang materialistik.
 Islam menyerukan adanya kemerdekaan, persamaan dan kesempatan yang sama antara yang kaya dan yang miskin dalam bidang pendidikan di samping penghapusan sistem-sistem kelas-kelas dan mewajibkan setiap muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu serta memberikan kepada setiap muslim itu segala macam jalan untuk belajar, bila mereka memperlihatkan adanya minat dan bakat.
Dengan demikian, pendidikan kerakyatan seharusnya memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga melainkan juga masalah pertanian dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar-merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan yang sesungguhnya.
Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman yaitu kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh, mengenali, menghayati dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir, mampu mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi dan berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualitas tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
Ungkapan Athiyah tentang pendidikan perempuan seakan menyadari kondisi riil historisitas kaum muslimin yang secara sosial perempuan seringkali dirugikan oleh perilaku sosialnya. Seperti gadis-gadis harus putus sekolah karena diskriminasi gender (sebab pernikahan atau hamil diluar nikah) atau karena keterbatasan ekonomi anak laki-laki mendapatkan prioritas utama walau potensinya tidak lebih tinggi daripada anak perempuan.

E.  Pandangan Agama Islam terhadap kesetaraan Gender
Sejak 15 abad yang lalu Islam telah menghapuskan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Islam memberikan posisi yang tinggi kepada perempuan. Prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam tertuang dalam Kitab Suci Al-Quran. Dalam ajaran Islam tidak dikenal adanya isu gender yang berdampak merugikan perempuan. Islam bahkan menetapkan perempuan pada posisi yang terhormat, mempunyai derajat, harkat, dan martabat yang sama dan setara dengan laki – laki.
Islam memperkenalkan konsep  relasi gender yang mengacu kepada ayat – ayat Al-Qur’an. Suatu kenyataan, masih banyak masyarakat, tidak terkecuali beberapa guru agama yang belum memahami makna qodrat, apabila berbicara soal jenis kelamin perempuan, dikaitkan dengan upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Salah satu akibat dari salah memahami alasan untuk mempertahankan subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi terhadap perempuan.
Al-Qur an sebagai “Hudan linnasi”, petunjuk bagi umat manusia, dan kehadiran Nabi Muhammad Rasulullah SAW dengan sunnahnya, sebagai “Rahmatan lil alamin”, tentu saja menolak anggapan di atas. Islam datang untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidak-adilan. Sejak awal dipromosikan, Islam adalah agama pembebasan.
Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba dan sebagai representasi Tuhan (khalifah) tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit. Islam mengamanatkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan keutuhan, baik sesama manusia maupun manusia dengan lingkungan alamnya.

F.   UPAYA PENANGGULANGAN DAMPAK NEGATIF DARI BIAS GENDER PENDIDIKAN DALAM ISLAM

Untuk mengembalikan nilai kerakyatan dan kemanusiaan pendidikan, Athiyah berpendapat bahwa pendidikan harus dipusatkan pada ibu. Apabila perempuan terdidik dengan baik, niscaya pemerataan pendidikan telah mencapai sasaran. Sebab, ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Minim sekali orang yang terlepas dari jangkauan ibunya. Ibu adalah sekolah bagi rakyat tanpa mengenal lelah, ekonomi, waktu dan dilakkukan penuh kasih sayang. Padahal inti demokrasi tertinggi adalah saat keterbukaan, kerelaan dan persaudaraan telah mencapai tingkat kasih sayang. Peran ini adalah pendidikan nonformal yang biasa dilakkukan perempuan di rumah.
Tanzania, Nyerere pernah mengatakan, “Jika anda mendidik seorang laki-laki, berarti anda telah mendidik seorang person, tetapi jika anda mendidik seluruh orang perempuan berarti anda telah mendidik seluruh anggota keluarga.” Kondisi tersebut tidak bisa diperoleh lewat pendidikan yang meninggalkan nilai persamaan dan kemanusiaan.
Sering dipahami bahwa perempuan didominasi perasaan daripada rasio. Karenanya mereka cenderung sensitive, berbeda dengan laki-laki yang lebih rasional karena yang dominan dalam dirinya adalah rasio sehingga perempuan tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi yang melibatkan rasio tersebut. Sebenarnya, kondisi yang sering disalah tafsirkan ini dari sisi kemanusiaan malah menunjukkan sebaliknya, yaitu perempuan memliki beberapa kelebihan diantaranya adalah lebih berperannya hati. Padahal, hati merupakan penentu nilai baik-buruk individu. Mereka yang dekat dengan alam, tekun dan teliti. Banyak bidang-bidnag yang membutuhkan kelebihan-kelebihan tersebut.
Di samping itu, dengan hati nurani juga seseorang membongkar kemunafikan. Bila hati nurani jernih dan bersih, pasti sesuai dan sama dengan hati nurani bangsa serta rakyat secara keseluruhan. Memang, perempuan cenderung emosional dan sensitive. Karenanya, dengan hati dan kesensitivannya mereka mendapatkan firasat-firasat keibuan yang membuatnya menjadi peka dan memiliki intuisi tajam akan apa yang ada di permukaan dan kasih sayang. Hal inilah yang menjadi inti dari nilai kemanusiaan.
Pusat pendidikan pada ibu, dapat memberi kepekaan diatas sebagaimana kata Rukmini, “Ibulah yang pertama kali tekun mendidik saya untuk memahami dunia dan kehidupan ini sebagai keutuhan sistem. Beliau selalu mengajak saya bangun pada malam hari melihat bintang dan menjelaskan soal jagad gede dan kaitannya dengan jagad cilik. Dari beliau saya bisa belajar mengenai bagaimana memahami keberadaan hidup ini dengan cara pandang yang taembus ruang dan waktu.”Dengan kasih sayangnya Rukmini melakukan pembelaan terhadap siapa yang lemah dan tertindas. Kepedulian seperti itu tak akan dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki hati nurani.
Upaya lain untuk mengatasi bias gender dalam pendidikan Islam yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1.    Reintepretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang bias gender dilakukan secaa kontinu agar ajaran agama tidak dijadikan justifikasi sebagai kambing hitam untuk memenuhi keinginan segelintir orang.
2.    Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan dikotomis antara laki-laki dan perempuan, demikian pula kurikulum local dengan berbasis kesetaraan, keadilan dan keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah yang dimulai dari tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak  sampai ke tingkat Perguruan Tinggi.
3.    Pemberdayaan kaum perempuan di sector pendidikan informal seperti pemberian fasilitas belajar mulai di tingkat kelurahan sampai kepada tingkat kabupaten disusaikan dengan kebutuhan daerah.
4.    Pemberdayaan disector ekonomi untuk meningkatkan pendapatan keluarga terutama dalam kegiatan industry rumah tangga. Dengan demikian akan menghilangkan ketergantungan ekonomi kepada laki-laki karena salah satu terjadinya marginalisasi pada perempuan adalah ketergantungan ekonomi keluarga kepada laki-laki.
5.    Pendidikan politik bagi perempuan agar dilakukan secara intensif untuk menghilangkan melek politik bagi perempuan. Karena masih ada anggapan bahwa politik itu hanya miliki laki-laki dan politik itu adalah kekerasan, padahal sebaliknya politik adalah seni untuk mecapai kekuasaan. Dengan demikian kuota 30% sesuai dengan amanah Undang-Undang segera terpenuhi, mengingat pemilih terbanyak adalah perempuan.
6.    Pemberdayaan disektor keterampilan, baik keterampilan untuk kebutuhan rumah tangga maupun yang memiliki nilai jual ditingkatan, terutama kaum perempuan di pedasaan agar terjadi keseimbangan antara perempuan yang tinggal di perkotaan dengan pedesaan sama-sama memiliki keterampilan yang relative bagus.
7.    Sosialisasi Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga lebih intens dilakukan agar kaum perempuan mengetahui hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan amahan dari UUK.


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Gender dalam pendidikan adalah realitas pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu sehingga menyebabkan ketimpangan gender. Berbagai bentuk kesenjangan gender yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, terpresentasi juga dalam dunia pendidikan. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestrikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan gender dalam pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi.
Kesetaraan gender berguna untuk memberikan kesempatan setiap orang untuk berapresiasi terhadap hal – hal yang terjadi disekitarnya. Kesetaraan gender berkaitan dengan keadilan gender. Keadilan gender merupakan perlakuan adil terhadap laki – laki dan perempuan. perbedaan antara kesetaraan dan keadilan gender yaitu kesetaraan lebih condong terhadap peluang sedangkan keadilan gender lebih condong terhadap tingkah laku laki – laki dan perempuan.
Kesetaraan gender dan keadilan gender harusnya dapat ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat. Selain bermasyarakat kesetaraan gender dan keadilan gender haruslah di tegakkan juga di dunia pendidikan. Bukan hanya kaum laki - laki saja yang harus sekolah tinggi namun perempuan juga punya hak untuk dapat bersekolah setinggi – tingginya.
B.  Saran
Manusia ada untuk berpeluang bukan hanya untuk ditindas. Jadi dengan adanya makalah ini penulis mempunyai saran yaitu sebaiknya sesama manusia saling menegakkan kesetaraan gender.  Agar tidak ada sesuatu yang menjadi permasalahan dalam kehidupan bersosial.




DAFTAR PUSTAKA













Tidak ada komentar:

Posting Komentar